Masyarakat luas sudah selayaknya paham terhadap penyakit Guillain Barre Syndrome, mengingat angka kejadian penyakit ini cenderung meningkat dan termasuk penyakit langka mahal dan mengancan jiwa.
Gangguan pada saraf perifer merupakan penyakit yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari di bidang neurologi. Berbagai jenis gangguan saraf tepi diketahui berhubungan dengan berbagai penyebab atau penyakit lain.
Seperti diabetes, trauma, paparan zat toksik, malnutrisi, efek samping berbagai macam obat, predisposisi genetik (herediter) dan inflamasi akibat infeksi ataupun gangguan sistem Imunologi.
Gangguan neuroimunologi mempunyai spektrum yang luas, dapat menyebabkan injury mulai dari susunan saraf pusat sampai susunan saraf tepi. Salah satunya adalah Acute Inflammatory Demyelinating Polyneurophaties atau Guillain Barre Syndrome, merupakan salah satu gangguan neuroimunologi yang menjadi penyebab tersering paralisis flacid setelah era penyakit polio.
Bagi kebanyakan orang, Guillain Barre Syndrome (GBS) memang masih asing di telinga. GBS adalah sejenis penyakit yang menyerang daya tahan tubuh (auto immune) penderitanya.
Selanjutnya, GBS akan menyerang sel pada syaraf tepi sehingga beberapa organ tertentu yang dipengaruhi oleh syaraf tersebut tidak menerima/tidak merespon informasi dari otak.
"GBS merupakan gangguan imunologi yang menyebabkan kelainan saraf perifer sehingga terjadi kelumpuhan ekstremitas secara asenden dan simetris," kata Kepala Divisi Neurofisiologi Klinik & Penyakit Neuroamuskuar, Departemen Neurologi FKUI- RSCM, Dr. Manfaluthy Hakim, Sp.S (K), dalam acara shymposiun GBS dan MG di Hotel Mulia Jakarta, Jumat,(13/4).
Dr. Manfaluthy menjelaskan, insiden GBS berkisar 0.6-1.9 per 100.000 populasi dan angka tersebut hampir sama di semua negara. GBS dapat dialami pada semua usia dan ras. Dengan usia antara 30-50 tahun merupakan puncak insiden GBS, jarang terjadi pada usia ekstrim. Laki-laki kulit putih sedikit lebih sering mengalami GBS.
Menurut Dr. Manfaluthy, pada periode 2010-2011, data jumlah penderita GBS di RSCM sebanyak 48 kasus dari berbagai varian dengan gejala klinis GBS yang timbul meliputi kelumpuhan, gangguan sensibilitas, gangguan fungsi otonom, kegagalan pernafasan.
"Risiko terberat dari GBS dapat mengancam jiwa karena menyebabkan kelumpuhan otot pernapasan sehingga penderita harus menggunakan ventilator, terkena infeksi paru dan sepsis akibat imobilisasi lama," jelasnya.
Sementara itu, sambung Dr Manfaluthy, untuk mendiagnosis penyakit GBS, selain dengan gejala yang timbul dan analisa cairan otak, juga dilakukan pemeriksaan EMG dan Kecepatan Hantar Saraf dimana akan memberikan informasi pada awal gejala penyakit .
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) Cabang Jakarta, dr. Darma Imran, SpS(K) menjelaskan bahwa Kelainan neurologi apapun penyebabnya sering kali memberikan gejala klinis yang hampir sama. Kelumpuhan dua kaki bisa disebabkan oleh tumor pada saraf tulang belakang atau oleh GBS.
Gangguan menelan, penglihatan dobel bisa disebabkan oleh stroke atau myasthenia gravis. Berbagai kelainan ini memiliki pengobatan yang sangat berbeda.
"Pasien dengan keluhan kelumpuhan dan kelainan neurologi lainnya harus segera diperiksa oleh dokter spesialis saraf. Pemeriksan klinis dan menggunakan alat elektrodiagnostik yang dikerjakan oleh dokter spesialis saraf dapat membedakan berbagai keluhan neurologi yang mirip. Selanjutnya dokter spesialis saraf akan menentukan, apakah klasifikasi GBS," tambah dr Dharma.
Terapi Pasien GBS
Diagnosis GBS ditegakan berdasarkan pemeriksaan klinis, pemeriksaan elektrodiagnostik yang tersedia di beberapa Rumaah Sakit (RS).
“RSCM sebagai Pusat rujukan nasional memiliki sarana yang lengkap dan didukung oleh tenaga ahli dengan kompetensi subspesialis sehingga berpengalaman dalam menegakkan diagnosis dan memberikan tatalaksana yang komprehensif terutama untuk kasus-kasus sulit,” kata dr. Diatri, SpS(K), Kepala Departemen Neurologi RSCM.
Pemulihan, perbaikan dan outcome pasien GBS ditentukan oleh kecepatan dalam memberikan terapi, sehingga perlu menegakkan diagnosis sedini mungkin. Jenis terapi yang direkomendasikan saat ini adalah dengan pemberian Intra Vena Imunoglobulin (IvIG) dan plasmapharesis (pengambilan Antibodi yang merusak dengan jalan penggantian plasma darah).
“Oleh sebab itu, dalam rangka untuk meningkatkan akses kepada pasien GBS perlu adanya kemudahan akses terhadap obat-obatan untuk pasien GBS dan MG untuk mendapatkan terapi yang standart. Dukungan infrastruktur pelayanan kesehatan hingga ke daerah-daerah juga sangat diharapkan sehingga tatalaksana pasien GBS dan MG sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran mutakhir,” pungkas dr.Dharma.
Sumber