Demokrasi Terpimpin merupakan bagian dari sejarah pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Sistem ketatanegaraan Indonesia sejak masa awal kemerdekaan tahun 1945 hingga tahun 1966 terus mengalami perubahan, begitu pula dengan sistem politik yang digunakan. Perubahannya ditunjukkan melalui perubahan konstitusi dan sistem demokrasi yang diberlakukan saat itu (sebelum Demokrasi terpimpin Indonesia pernah menjalankan demokrasi Parlementer).
Salah satu perubahan konstitusi ini kemudian membentuk Demokrasi Terpimpin yang lahir dari peralihan periode UUDS 1950 ke penggunaan kembali UUD 1945 yang disebabkan oleh kegagalan konstituante dalam membentuk undang-undang dasar tetap.
Kegagalan konstituante dalam membentuk undang-undang dasar tetap selama dua setengah tahun, dikhawatirkan berdampak buruk bagi stabilitas nasional kala itu, potensi perpecahan akan terus meningkat jika negara tidak memiliki konstitusi yang jelas. Oleh karena itu, pada 22 April 1959 Presiden Soekarno atas nama pemerintah dalam sidang menganjurkan konstituante menyatakan UUD 1945 sebagai undang-undang dasar tetap bagi Negara Republik Indonesia.
Pernyataan tersebut akhirnya disampaikan melalui Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang didukung oleh TNI, dibenarkan oleh Mahkamah Agung dan DPR serta disambut baik masyarakat Indonesia. Dekret ini berisi ketentuan pokok yaitu :
- Menetapkan pembubaran konstituante
- Menetapkan bahwa UUD 1945 berlaku kembali bagi segenap bangsa Indonesia
- Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS)
Melalui dasar pelaksanaan ini, diharapkan Demokrasi Terpimpin menjadi bentuk demokrasi Indonesia yang mampu membangun sistem politik dan kenegaraan yang mapan. Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dipimpin oleh Presiden Soekarno pemegang kekuasaan eksekutif yang disebut-sebut sebagai Pemimpin Besar Revolusi.
Gagasan Demokrasi Terpimpin sebenarnya sudah mulai dicetuskan oleh Presiden Soekarno sejak 1956, dan pada 1957 Presiden Soekarno mengusulkan pembentukan Kabinet Gotong Royong dan Dewan Nasional yang salah satu tujuannya adalah untuk menyatukan partai-partai yang saat itu berjumlah cukup banyak.
Gagasan ini pada awalnya ditolak oleh partai-partai besar seperti Masyumi, Nahdathul Ulama, dan Serikat Islam karena kepartaian merupakan wujud demokrasi, hanya Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mendukung gagasan tersebut. Ide Presiden Soekarno mengenai Demokrasi Terpimpin baru terwujud setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem pemerintahan pun berganti menjadi Sistem Presidensial.
Sistem ini menggantikan sistem parlementer yang dianggap terlalu liberal. Dengan berlakunya sistem ini, Presiden Soekarno merupakan pemimpin pemerintahan dan bertindak sebagai kepala negara serta membentuk Kabinet Kerja yang menteri-menterinya tidak terikat kepada partai.
Demokrasi Terpimpin di Tangan Soekarno
Presiden Soekarno sebagai pemilik ide Demokrasi Terpimpin yang diajukannya, pada pelaksanaannya ternyata memiliki penafsiran sendiri yang berbeda mengenai dasar dan makna Demokrasi Terpimpin yang terletak pada kata ‘terpimpin’.Menurutnya, Demokrasi Terpimpin ditafsirkan dengan ‘pimpinan terletak di tangan Pemimpin Besar Revolusi’. Hal ini kemudian merujuk pada pemusatan kekuasaan yang dipegang oleh Presiden Soekarno. Pemusatan kekuasaan yang mutlak pada presiden ini bertentangan dengan isi Undang-Undang Dasar 1945 saat itu yang menyatakan bahwa presiden merupakan mandataris MPR, dengan demikian presiden berada di bawah MPR.
Selain itu, dalam Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno mengangkat anggota MPRS dan menentukan apa saja yang harus diputuskan oleh MPRS. Presiden Soekarno juga melakukan tindakan seperti menetapkan Manipol (Manifesto Politik) sebagai GBHN yang ditetapkan dalam Pen-Pres No.1 Tahun 1960, pembubaran DPR hasil Pemilu (Pen-Pres No.3 Tahun 1960), pembentukan DPR Gotong Royong untuk menggantikan DPR hasil pemilu 1955 (Pen-Pres No.4 Tahun 1960), dalam penggantian ketua, wakil, dan anggota DPR GR Presiden Soekarno memutuskannya sendiri melalui Pen-Pres tanpa meminta persetujuan lembaga legislatif.
Dalam Buku Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia (Pringgodigdo), terangkum penyimpangan-penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa Demokrasi Terpimpin sebagai berikut.
- Menafsirkan Pancasila secara terpisah-pisah, tidak dalam kesatuan bulat dan utuh.
- Pengangkatan presiden seumur hidup dan banyaknya jabatan yang rangkap.
- Presiden membubarkan DPR hasil Pemilu 1955.
- Konsep Pancasila berubah menjadi konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis)
- Bergesernya makna Demokrasi Terpimpin disebabkan karena dalam pelaksanaannya pemusatan kekuasaan pada presiden/pemimpin besar revolusi cenderung terjadi.
- Pelaksanaan politik bebas aktif yang cenderung memihak komunis.
- Manipol USDEK (manifesto politik, undang-undang dasar, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia) dijadikan GBHN tahun 1960. USDEK dibuat oleh presiden sedangkan GBHN harus dibuat oleh MPR.
Pemberontakan yang dilakukan semasa Demokrasi Terpimpin merupakan pemberontakan militer yang didasari oleh rasa ketidakpercayaan terhadap pemerintahan yang berkuasa saat itu. Pemerintahan Presiden Soekarno dianggap tidak dapat mengayomi masyarakat karena kondisi ekonomi masih saja memburuk, pembangunan yang dijanjikan tidak juga terwujud, pemerintah hanya sibuk mengurusi kehidupan politik dengan pergantian-pergantian sistem dan kabinet-kabinet yang tidak pernah berumur panjang.
Pemberontakan ini sekaligus menjadi tantangan bagi pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang berada di tangan Presiden Soekarno yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan Negara Indonesia, karena pada saat itu beberapa pemberontakan sudah terjadi sebelum masa Demokrasi Terpimpin.
Pemberontakan yang muncul saat berlakunya Demokrasi terpimpin adalah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta), pemberontakan ini diawali dengan dibentuknya dewan-dewan dibeberapa daerah seperti Dewan Banteng di Sumatera Barat, Dewan Manguni di Manado, Dewan Gajah di Medan. Dewan-dewan ini dipimpin oleh tokoh-tokoh militer yang kemudian pada tahun 1958 mendirikan Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia.
Untuk meredam pemberontakan ini Presiden Soekarno bekerja sama dengan militer baik angkatan darat, angkatan laut, maupun angkatan udara dengan melaksanakan operasi militer.
Selain gejolak yang muncul di daerah, pada masa Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno menyatakan konfrontasi dengan Malaysia. Konflik internasional Indonesia dengan negara satu rumpun ini menyebabkan keresahan semakin merebak di tengah masyarakat. Konfrontasi Indonesia dan Malaysia ini disebabkan oleh Peristiwa klaim Federasi Malaysia atas wilayah Brunei, Sabah, Serawak dan Singapura yang hendak dilakukan penggabungan menjadi Persekutuan Tanah Melayu pada 1961.
Peristiwa ini membuat Indonesia dan negara lain kecewa karena dianggap sebagai proyek Neo-Kapitalisme dan Imperialisme di kawasan Asia Tenggara. Terhadap sikap Indonesia ini Malaysia melakukan demokrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur. Setelah adanya demonstrasi tersebut melalui Menteri Luar Negeri Soebandrio Indonesia menyatakan permusuhan dengan Malaysia yang memunculkan istilah ‘Ganyang Malaysia’ dan Dwikora (Dwi Komando Rakyat) yang berisi:
- Perhebat ketahanan revolusi Indonesia
- Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Serawak dan Sabah untuk menghancurkan Malaysia
Berakhirnya Masa Demokrasi Terpimpin
Di tengah gejolak perpolitikan masa Demokrasi Terpimpin yang berada di tangan Presiden Soekarno, tidak luput dari perhatian periode ini adalah kondisi perekonomian Indonesia yang mendapat pengaruh besar dari perpolitikan Indonesia saat itu. Perekonomian Indonesia semakin memburuk disebabkan beberapa hal berikut.- Penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta
- Adanya inflasi yang cukup tinggi mencapai 400%
- Konfrontasi dengan Malaysia
- Defisit negara mencapai 7,5 Miliar Rupiah
- Devaluasi mata uang nominal Rp. 500 menjadi Rp. 50
- Penghapusan nilai mata uang nominal Rp.1000
- Semua simpanan di bank yang mencapai Rp. 25.000 dibekukan
- Dilakukan Deklarasi Ekonomi pada tanggal 28 Maret 1963 untuk mencapai ekonomi yang bersifat nasionalis, demokratis, dan bebas dari sisa-sisa imperialisme.
Pada masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno memang terlihat dengan Komunis, hal ini dibenarkan dengan konsep Nasakom yang diajukannya. Pada 1965 menggelintir di tengah perpolitikan Demokrasi Terpimpin sebuah isu Dewan Jenderal yang digadang-gadang akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan Presiden Soekarno.
Berdasar pada isu tersebut lahirlah sebuah Gerakan 30 September 1965 yang menyebabkan terbunuhnya enam jenderal senior angkatan darat dari tujuh yang ditargetkan, beruntung Jenderal A.H Nasution berhasil menyelamatkan diri.
Gerakan 30 September 1965 ini mengagetkan Presiden Soekarno yang pada saat itu sedang sakit, untuk stabilitas nasional Presiden Soekarno memerintahkan Mayor Jenderal Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad) untuk melakukan penumpasan gerakan tersebut.
PKI yang dianggap sebagai dalang dari gerakan ini pun ditumpas, ratusan ribu anggota PKI yang berada di Jawa dan Bali ditangkap dan dibunuh (terdapat beragam versi mengenai peristiwa G30S ini). Setelah penumpasan Gerakan 30 September 1965 selesai dilakukan, Mayjen Soeharto mengambil alih kekuasaan berdasarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang diberikan oleh Presiden Soekarno.
Keluarnya Supersemar menjadi titik akhir pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang menjadi penggalan sejarah pelaksanaan demokrasi di Indonesia, sekaligus menutup masa kepemimpinan Presiden Soekarno. Kehidupan demokrasi Indonesia pun berlanjut dan berganti menjadi Demokrasi Pancasila.